Ruwatan, sudah tak asing lagi di jagat Nusantara. Tetapi, seumumnya fenomena zaman sekarang, pemahaman terhadap ruwatan bersifat praktis. Ruwatan hanya dipandang sebagai bentuk upaya mistis merubah nasib atau membuang sengkolo. Sebatas itukah pengertian ruwatan?
Sebagai tradisi, ruwatan sudah dikenal sejak zaman Hindhu dan Budha. Dari kata ruwat yang artinya luwar atau lepas, ruwatan berarti melepaskan segala bentuk malapetaka akibat perbuatan manusia atau keberadaan manusia yang tidak pada tempat atau kedudukannya,tataran ing ngaurip.
Khasanah kebudayaan Jawa menyebut keberadaan manusia yang tidak pada tempatnya dengan salah kedaden atau salah kejadian. Orang yang menyandang nasib salah kedaden disebut sukerta.
Hakikat Ruwatan
Kosmologi jagat manusia Jawa memandang suka duka kehidupan sebagai cermin diri. Suka duka membuat manusia kemudian melihat dirinya sendiri. Menelusuri asal mula dirinya sendiri atau sangkan paraning dumadi. Pandangan ini menempatkan nilai ideal manusia bukan pada kesempurnaan, tetapi justru pada berbagai kemungkinan manusia yang tidak sempurna. Bisa terkena bencana dan selalu terbuka pada kemungkinan terjadinya salah kedaden atau salah kejadian.
Dengan pandangan itu, manusia Jawa lalu membutuhkan pelepasan, pembebasan yang dilakukan dalam koridor keyakinan leluhur, ruwatan. Pada titik ini ruwatan menjadi peringatan bagi manusia Jawa terhadap keadaan diri yang tidak sempurna.
Di masa lampau, upacara ruwatan dianggap sebagai wahana pembebasan para sukerta, yaitu anak-anak yang sejak lahir dianggap membawa kesialan tidak suci, penuh dosa serta orang-orang yang berbuat ceroboh. Anak sukerta dan/atau orang yang ceroboh itu dipercaya akan menjadi mangsa Batara Kala, oleh sebab itu perlu diruwat.
Anak-anak tunggal (ontang-anting) digolongkan sukerta kemungkinan menjadi anak nakal sangat besar, sebab pada umumnya anak tunggal selalu dimanjakan oleh keluarganya. Meskipun diakibatkan oleh program KB (Keluarga Berencana), anak yang hanya berjumlah dua (kembar, dhampit, kembang sepasang, dan kedhana-kedhini) berpotensi menjadi nakal, sebab sering terjadi kedua orang tua (ayah dan ibu) berpihak kepada salah satu anak. Anak dalam jumlah tiga (sendang kapit pancuran, pancuran kapit sendang, banteng ngunda jawi, ngungggah-unggahi, tri purusa, serta tri wati) anak yang memiliki jenis berbeda dengan kedua saudaranya potensi untuk menjadi anak nakal sangat besar. Kemungkinan anak yang jenis kelaminnya berbeda dengan saudara-saudaranya (ngijeni) ini paling dimanjakan oleh keluarga.
selebihnya bahasan di atas bukan untuk menakut-nakuti akan tetapi hanyalah sebagai pecerah agar anak dan orang tua sama-sama mengerti apa yang harus dilakukan untuk kebaikan di masa yang akan datang.